Penghuni Kamar Ketiga

Sambil nungguin sosis mateng di dapur, saya mau cerita sedikit tentang penghuni kamar ketiga. Ia adalah seorang laki-laki seumuran penghuni kamar pertama, kira-kira 37 tahun. Bermuka mongoloid, sudah ketebak kebayang dan ketebak kan apa yang dia punya? Ya benar, down syndrom.

Saya sering lihat orang dengan down syndrom yang masih bisa beraktifitas seperti layaknya orang biasa, mungkin kalian juga pernah lihat, sayangnya dia engga. Dia tidak bisa berbicara sama sekali, namun bisa mengeluarkan bunyi (babbling seperti bayi umur 5-7 bulan), sepertinya karena dulu dia tidak pernah belajar dari orangtuanya dan tidak dimasukan ke sekolah luar biasa. Sedih ya? 😦 Dia mengerti engga apa yang kami bicarakan? Kami ga tau dengan pasti, jadi ya susah juga komunikasi dengannya. Palingan kalau dia ngetok-ngetok gelas kosong berarti dia pengen minum lagi, tapi kalau pas airnya dituang dia bunyi seperti marah, berarti dia pengen minum yang lain.

Selain tidak bisa berbicara, dia termasuk dalam penghuni yang memerlukan bantuan hampir semua aktifitas. Dia bisa suapin makanan sendiri, namun makannya harus kami potong kecil terlebih dahulu sebelum dikasih ke dia. Saat makan dengan sendok, biar makannya ga berantakan keluar piring, di pinggir piring ditempelin ring, selain itu dia juga sering nempelin bibirnya ke ring itu terus nyuap kalau makanannya tinggal dikit. Di Jerman, makan malam biasanya berkisar roti dengan keju atau salami di atasnya, cara makan dia adalah makan habis dulu keju atau salaminya, baru potongan rotinya. Dia sangat suka sekali sayuran dan buah, eh engga ding, dia suka SEMUA makanan 😛

ring buat makan image: alibaba.com

Untuk urusan selain makan dia harus semuanya dibantu, persis seperti anak balita. Setiap hari dia mengenakan popok sekali pakai yang harus diganti tiap 3-4 jam, biar engga kepenuhan. Kalau dia sudah buang air besar, waduh paling males saya ngurusinnya. Pengennya pura-pura ga nyium aroma dari popoknya itu, tapi eh tiba-tiba kolega dateng dan minta tolong buat gantiin popok dia karena si kolega lagi ngurusin yang lain. Deng dong! Cara membersihkan pantat (maaf) dan ganti popoknya persis seperti lagi ngurusin bayi, tidurin celentang di kasur, terus angkat deh kakinya. Kebayangkan, sodara-sodara?

Yang susah dibayangin adalah bagian cara angkat kakinya, secara doi gendut dan berat. Cara kedua adalah bawa ke kamar mandi, terus dia langsung nungging seperti orang rukuk, biasanya dia sudah mengerti kalau dia akan dibersihkan. Bagi saya cara kedua ini lebih susah, apalagi kalau masangin popok, saya mebih suka “ngerjain” dia kasur. Namanya juga anak balita, kalau popoknya penuh tapi belum diganti, dia suka asik aja gitu masukin tangannya ke sana. Tiba-tiba kotor aja tangnnya, makanya ditekankan banget untuk dia harus diperhatikan benar-benar kebersihan tangan dan kukunya.

Dia suka banget berendam di bathtub, susah banget deh ngeluarin dia dari sana kalau udah berendam. Perlu waktu lama. Kemarin kolega cerita, si penghuni kamar ketiga ini ga mau keluar dari bathtub walau sudah kering. Sampe bosen dia nungguinnya. Dipaksa keluar juga susah, karena tenaga dia gede dan licin, takutnya dia kepeleset. Karena alasan itu lah, saya lebih suka mandiin dia pake shower. Memang sih susah nyuruh dia duduk buat mandinya, mesti main dorong-dorongan dulu, tapi biasanya dia akan sukarela duduk kalau sudah saya guyur pake air normal (ga hangat atau pun dingin), terus selanjutnya ketawa bahagia deh dia tiap kena guyuran air.

Walau ga bisa bicara, dia suka banget celoteh, biasanya sih itu-itu aja tapi diulang-ulang dengan suara kencang. Idih, bikin stres deh di deket dia, apalagi kalau pengen ngobrol sama kolega atau penghuni lain, jadi musti nyolek dia dulu dan ngingetin biar ga terlalu kencang. Dia hobi juga gemerutukin giginya, entah gimana caranya. Kebetulan gigi dia ga lengkap juga sih, tapi tetep aja suara itu ganggu banget. Menurut kolega sih gigi dia sudah sedikit rata, hasil dari hobinya itu.

Di kamarnya dia punya banyak boneka yang suka dia bawa ke mana-mana atau dia gigit ujungnya sampai basah. Tidak hanya boneka, kaos kaki juga jadi korbannya. Entah dia ga hobi pake kaos kaki atau gimana, ga heran deh kalau dia jalan-jalan keliling WG dengan kaos kaki di salah satu kaki dan yang lainnya di mulut. Sepatu rumah juga sering dia tinggal gitu aja di ruang TV, terus dia jalan-jalan di dalam WG telanjang kaki. Di mobil jemputan juga sama aja, kalau summer sih enak ya dia bisa jalan telanjang kaki dari mobil ke dalem rumah, lah kalau winter seperti sekarang? Ribet musti masang sepatunya dulu, baru bisa narik-narik dia keluar mobil.

Walau bukan pengendara kursi roda (sebutnya rolli ya biar cepet), tapi kalau pergi keluar rumah di harus naik rolli. Pernah baca di dokumen, dia ada gangguan di kaki gitu deh, jadi ga kuat untuk berjalan jauh. Tapi saya baru tau alasan lainnya, karena kalau keluar rumah tanpa rolli, bisa abis sejam di jalan cuma untuk mengunjungi tempat terapi di belakang rumah, soalnya dia kebanyakan mandeknya sambil nungging. Ga bisa ditarik dan didorong karena (sekali lagi) doi gendut, berat, dan keras kepala. Untuk ke tempat “kerja” dia ga pernah pakai rolli, karena setiap hari ada mobil jemputan.

Saya sering menganggap dia bayi besar. Badan bulet, pipi tembem, pendek (kira-kira sebahu saya atau kira-kira 145 cm), kalau ngantuk matanya segaris, double cheek, sendal rumahnya lucu-lucu, ga bisa ngapa-ngapain kecuali makan, pokoknya mirip banget kaya bayi besar. Tiap dia dateng telat di jam makan malam, saya pasti teriak manggil dia, apalagi kalau dia sudah kelimis dan rapih dengan baju tidurnya abis mandi, persis seperti anak umur setahunan baru selesai mandi. Pengen nyubit-nyubit rasanya.

Dia hobi banget jalan-jalan naik rolli, si sahabat baiknya. Sering banget dia narik tangan salah satu dari kami ke kamarnya, terus dia loncat ke si sahabatnya itu, maksud dia, “Ayo jalan-jalaaannn!”. Kalau kami ga ada waktu atau cuaca jelek sehingga ga bisa keluar, dia akan duduk terus di sana, walau kami sudah menjelaskannya. Di minggu pertama saya kerja, karena putus asa nyuruh dia keluar mobil jemputan, saya bilanglah ke dia “Turun dong, nanti kita jalan-jalan!” kirain dia engga ngerti, eh dia malah langsung turun terus narik saya ke kamarnya, dan loncat ke rolli. Sayangnya waktu itu saya sibuk *halah, masa sih* jadi terus janjiin “Lain kali ya kita jalan-jalannya.”

Sedikit rahasia, tiap jalan-jalan berdua dengan dia, saya pasti cuhat sama dia. Kadang pake bahasa Jerman, kadang Inggris, tapi ga pernah bisa pake bahasa Indonesia. Tanggapan dia selalu sama, sibuk ngeliatin jari-jari tangannya (salah satu hobinya yang lain), sambil babbling.

Ohya, dia yatim piatu. Hanya punya sodara laki-laki, ga tau adik atau kakak. Saya ga pernah ketemu dia tapi. Dia keturunan Italia. Pernah kami mengajak dia ke restoran salah satu kolega, kebetulan kakak kolega saya itu bisa bahasa Italia dan sempet ngomong beberapa kalimat ke dia yang lagi sibuk babbling sambil ngeliatin gelas kopi, langsung berhenti lah dia beraktifitas dan melirik ke arah kakaknya si kolega. Mungkin dia mengerti ya, pernah mendengar orang-orang ngobrol pake bahasa itu dahulu.

Karena sodaranya ga pernah muncul (ga tau dia tinggal di Jerman atau Italia), di saat penghuni lain pulang ke rumah orangtuanya di waktu natal, dia tetep aja ada di WG. Kebetulan natal lalu saya kebagian jaga malam, saya bersama dia dan penghuni kamar kesembilan di WG. Miris banget deh melihat penghuni kamar kesembilan kesenengan buka banyak kado dari keluarganya, dan penghuni kamar ketiga cuma bisa mainin kertas kado yang berserakan aja. Ke mana sih nih sodaranya, jahat banget ga ngirimin kado atau dateng!

Di meja makan, jangan naro piring makanan di dekatnya, atau akan dia ambil dengan cepat. Dia sebenarnya boleh makan apa aja, tapi tentunya ga boleh banyak-banyak. Biasanya dua buah roti dengan keju dan salami dan sepiring salad cukup buat makan malamnya, tapi kalau di dekatnya ada piring keju atau salami atau roti, biasanya akan dia caplok dengan cepat.

Menurut kolega, dia adalah penikmat kopi yang baik. Tiap dikasih kopi dia akan mencicipinya dulu sedikit, terus diperhatiin baik-baik dengan memincingkan mata, diminum lagi sedikit, terus diperhatiin lagi, digeser sampai sangat ke tepi meja (tapi ga pernah sengaja dijatohin kok sama dia), terus aja begitu. Beda dengan penghuni lain yang setiap minum kopi langsung diabisin (apalagi si penghuni kamar pertama ya..). Saya ga tau pasti sih bener apa engga perkiraan si kolega, lah ga ada yang tau isi hati sebenarnya si penghuni kamar ketiga.

Setiap hari dia pergi “kerja” ke TS (Tagestätte – Day care). Ga beneran kerja tentunya hanya beraktifitas. Kami pernah dikirimin sebuah foto dari TS nya itu, foto dia lagi berendam di bathtub TS. Walau dia masuk dalam grup aktifitas dengan kayu, namun sepertinya kerjaan sebenarnya dia di TS adalah berendam! Hihihi lucu ya 🙂

Yang terakhir, setiap malam kami harus membantu dia menggosok gigi dan mengantarnya tidur, setiap malam depan pintu kamarnya harus dipasang pagar kayu lumayan berat. Ini berguna agar dia ga bisa keluar kamar. Ga lucu dong kalau pagi-pagi dia ga bisa ditemukan di kamar malah ada di kamar mandi lagi main di bathtub yang kering? PS: dapur, gudang makanan, ruang cuci, dan ruang TV selalu terkunci tiap malam. Saya suka ga tega deh kalau bangunin dia pagi-pagi, muka masih ngantuknya polos banget, persis seperti bocah yang males bangun! *cubit-cubit pipinya*

Yak, sudah semua sepertinya deh. Sosis yang tadi dimasak juga sudah habis dari tadi. Selanjutnya saya akan cerita tentang seorang pria berkepribadian ganda yang menghuni kamar keempat. Diantosan nyaa..

Sampai nanti. Selamat malam, selamat istirahat 🙂

+++

Postingan terkait:

Penghuni Kamar Pertama

Penghuni Kamar Kedua



11 responses to “Penghuni Kamar Ketiga”

  1. Ahhh Ajeng, I’m proud of you!
    Belum tentu aku bisa ngadepin para penghuni itu seperti kamu. Apalagi pas bagian ganti popok. Huhuhu kamu hebatt. Nyium pup ponakan aja aku udah huwek2 mau munmun.

    As ussual, aku selalu setia nunggu ceritamu :p

    Like

    1. aw kamu bikin aku kesenengan deh :p

      kadang juga males kalo gantiin popok dia, kalo ga ditanya kolega, aku suka pura2 ga tau. hahaha.. *ditoyor*

      Like

      1. buahahahahaha Ajeng. oiya, yang bikin aku tambah salut adalah: dia itu cowok. *masih ngebayangin soal ganti popok*

        Like

      2. hahaha, kamu cobain langsung aja, kemarin kan jadi petugas tol udah, sekarang giliran kerjaan aku yang dicoba 🙂

        Like

  2. Menarik bgt ya ceritanya..n_n..ga semua orang bisa kyk bgtu coz pastinya butuh kesabaran ekstra, hebaaaattt…btw, dia laki2 dewasa usia 37tahun kan? serius tuh Ajeng yang ngbantu dia mandi ma BAB jg? Alamaaakkk, ga risih?hebaaaatt 🙂

    Like

    1. kadang-kadang risih, nin, kalo inget dia tuh sebenarnya laki-laki dewasa bukan anak kecil, tapi ya mau gimana.. anggap aja ibadah ya :p

      Like

  3. Wah…saluuuuut! Four thumbs up! (^_^)b
    Kayaknya perlu belajar ikhlas lagi nih dari ajeng!

    Ngurus si bocah satu ini aja masih suka ngomel2… ^_^

    Like

    1. hihi, makasih mba mayya.. peyuk peyuk buat si kecil, guru ikhlasnya mba 🙂

      Like

  4. […] mereka dengan DS. Di wohngruppe (panti) saya ada satu orang dengan DS berumur 36 tahun, dia adalah Penghuni Kamar Ketiga. Dia ga bisa ngomong (hanya babbling layaknya balita), semua kegiatan selain makan minum, […]

    Like

Leave a reply to Nina Meidania Cancel reply